Pengertian hutan sendiri
beragam karena sudah “masuk” ke ranah politik sejak Otonomi Daerah
diberlakukan. Kekuasaan tertinggi ada di tangan “raja-raja” kecil berupa
gubernur, bupati dan walikota.
Padahal, kalau mengacu ke makna
hakiki hutan yang dimaksud hutan tidak hanya tegakan pepohonan, tapi
juga habitat hutan tersebut harus tetap lestari, seperti flora dan fauna
bahkan suku-suku asli (indigenous people) harus tetap hidup di hutan tsb.
Tas Branded KW Original Ori Semi Super Batam Bandung Jakarta Makasar Murah Terbaru |
Celakanya, belakangan ini, terutama
sejak Otonomi Daerah, fungsi hutan sebagai “ibu” dari keanekaragaman
hayati pada suatu lingkungan hutan dikesankan hanya jika habitat
binatang atau hewan besar seperti orang utan, harimau dan gajah tetap
terjaga.
Padahal, di wilayah Jambi,
misalnya, suku asli yaitu Suku Anak Dalam, sudah terusir dari habitat
mereka karena ekspansi perladangan penduduk dan perkebuinan sawit. Maka,
sangat disayangkan upaya-upaya segelintir orang dengan memakai
moralitas dan ukuran dirinya sendiri membawa Suku Anak Dalam ke luar
dari habiatnya. Yang diperlukan bukan mengeluarkan mereka dari habitat
mereka dengam membawa perdadaban modern, tapi menjaga kelestarian
habitat mereka tetap seperti sedia kala.
Hal yang sama bisa dilakukan di
kawasan hutan yaitu dengan tanaman sela yang bukan kayu, misalnya,
rotan. Dalam kaitan inilah lahan-lahan gundul dan gersang baik bekas HPH
dan pertambangan akan lebih baik dihijaukan dengan tanaman buah
sehingga masyarakat menjaga dan merawatnya karena ada hasilnya. Berbeda
dengan kondisi sekarang penghijauan ditangani dengan tanaman yang tidak
menghasilkan buah sehingga masyarakat tidak merawat tanaman tsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar